Jumat, 09 November 2012

Faktor Penyebab Curah Hujan per Bulan di Indonesia

 Saya mencoba merangkum tulisan dari Dr. Edvin Aldrian yang berjudul POLA HUJAN RATA-RATA BULANAN WILAYAH INDONESIA; TINJAUAN HASIL KONTUR DATA PENAKAR DENGAN RESOLUSI ECHAM T-42 diterbitkan oleh Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 1, No. 2. 
Dalam tulisan tersebut Dr. Edvin Aldrian menjelaskan penyebab pada bulan tertentu terjadi intensitas hujan yang cukup tinggi sementara pada bulan lainnya intensitas hujan rendah. Untuk sementara penjelasan ini mungkin dapat menjadi pertimbangan dalam penerapan pengetahuan yang menyangkut dengan curah hujan seperti musim tanam, kebencanaan, pembangunan dan lainnya. Agar lebih jelasnya dapat dilihat di bawah ini. Semoga bermanfaat.


 Gambar sebaran hujan di Indonesia per bulan


1. Januari
Hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki curah hujan rata - rata bulanan diatas 150 mm. Daerah yang memiliki curah hujan maksimum terdiri dari Lampung dan Jawa dengan curah hujan diatas 300 mm. Keberadaan monsun Asia dan Australia tidak terlihat jelas pada bulan ini. Dalam pengertian iklim klasik Indonesia, bulan ini semestinya termasuk dalam periode monsun asia. Kenyataannya, berda-sarkan analisis angin ECMWF 850 mb. Monsun Asia ada pada bulan NDJFM. Daerah yang paling berdekatan dengan asal monsun Asia (Riau kepulauan) justru memiliki curah hujan yang lebih rendah. Kalau dilihat dari analisis angin, daerah ini memang mensuplai massa udara basah tetapi kecepatan angin terlalu tinggi sehingga mengurangi kemungkinan hujan di daerah ini.

Daerah anomali hujan tinggi, selain di Riau kepulauan juga terjadi di utara Sulawesi dan Maluku tengah. Anomali lainnya juga terlihat jelas pada kontur hujan di Sulawesi selatan atau tepatnya di sebelah barat kota Makasar. Tingginya curah hujan kota Makasar pada bulan ini harus dipahami dengan situasi kota ini yang terletak dipinggir pantai sebuah semenanjung Sulawesi selatan yang di tengahnya terdapat barisan bukit. Pada baratan pada bulan membawa udara basah yang memberikan efek orografis bayangan hujan (Fohn effect). Sebagai hasilnya curah hujan di kota ini jauh lebih tinggi dari nilai kontur yang tergambar. Terkadang terdapat data dengan curah hujan diatas 1500 mm. Faktor kesalahan lain-nya adalah kurangnya titik observasi di grid ini. Pada grid ini terdapat satu stasiun penakar di kota Makasar. Apabila ingin didapat pola iklim berdasar hujan yang lebih mewakili maka grid ini membutuhkan jauh lebih banyak data penakar terutama dari timur semenanjung Sulawesi selatan.

Hasil analisis angin menunjukkan bahwa terjadi konvergensi masa udara di daerah yang memiliki curah hujan maksimum yaitu selatan Indonesia mulai dari Lampung hingga pulau Timor. Di daerah sebelah utara Australia terjadi daerah pusaran angin yang menunjukkan daerah yang sering terjadi siklon tropis. Apabila kita melihat bahwa monsun asia sudah melemah, maka dapat disimpulkan sementara bahwa curah hujan tinggi di selatan Indonesia terjadi bukan karena monsun Asia tetapi karena daerah pertemuan masa udara dari belahan bumi utara dan selatan (daerah ITCZ) dan keberadaan siklon tropis di sebelah utara Australia. Secara khusus dapat dibagi lagi bahwa di daerah Lampung hingga Jawa pengaruh ITCZ lebih besar ketimbang siklon tropis, tetapi daerah Nusa Tenggara mendapat pengaruh siklon tropis yang besar pula. Hal ini jelas terlihat pada grid di daerah selatan laut Banda, yang paling berdekatan dengan lokasi siklon di utara Australia, memiliki curah hujan mencapai > 350 mm.

Dari pola OLR, daerah yang berpeluang terjadinya hujan adalah daerah pesisir barat Sumatera dan Jawa. Selain itu Maluku utara hingga Sulawesi utara serta tengah pulau Irian. Daerah di tengah Irian dengan nilai OLR tinggi dapat dimaklumi secara orografis yaitu daerah puncak Jayawijaya. Pola OLR tinggi di Maluku tengah dan Sulawesi Utara bertentangan dengan data hujan yang menunjukkan daerah ini memiliki curah hujan minimum. Secara umum daerah OLR juga mewakili letak posisi ITCZ yang tepat di daerah khatulistiwa. Dari pola OLR ini juga terlihat bahwa daerah yang dekat dengan asal monsun Asia tidak memiliki potensi awan konvektif sebagaimana analisis kita sebelumnya.

Analisis suhu permukaan dari ECMWF menunjukkan bahwa kemungkinan aliran angin sesuai dengan pola angin ketinggian 850 mb. Arah angin berasal dari laut Cina selatan menuju daerah benua australia. Kalau dilihat sepintas, keberadaan ITCZ sulit diramalkan dari pola suhu permukaan yang ada ini. Daerah disebelah utara Australia memiliki suhu permukaan yang tinggi hingga ada yang mencapai 303 derajat Kalvin yang menunjukkan besarnya potensi terjadinya siklon di daerah ini.

2. Februari
Pola hujan secara umum pada bulan ini tidak jauh berbeda dengan Januari dengan penurunan intensi-tas hujan terjadi di semua wilayah. Penurunan juga terjadi di Maluku dan utara Sulawesi, sementara efek orografis di kota Makasar masih terlihat.

Dari analisis angin 850 mb ECMWF dapat terlihat bahwa pola angin masih sangat serupa dengan pola angin bulan Januari. Hasil ini dapat dimengerti apabila kita memperhatikan pola suhu permukaan keluaran ECMWF yang mana untuk seluruh wilayah Indonesia, polanya sangat serupa dengan pola bulan Januari kecuali di daerah Maluku selatan. Peru-bahan ini juga terlihat dari pola pusaran angin di utara benua Australia yang berpindah lebih ke arah Indonesia. Sementara pola pusaran disebelah barat pulau Sumatera tetap bertahan pada bulan ini. Dengan melihat hasil keluaran angin 850 mb, dapat juga dimengerti penurunan intensitas curah hujan di sebelah selatan Indonesia karena terjadinya kena-ikan kecepatan angin di daerah ini, sehingga awan konvektif sulit terbentuk. Jadi meskipun ITCZ masih ada dan berpengaruh, aktivitas konvektif lebih berkurang dibandingkan bulan Januari.

Dari pola OLR, terlihat penyebaran daerah konvek-tif terutama di daerah barat Sumatera berkurang jauh. Yang masih bertahan serupa dengan pola sebelumnya adalah daerah Irian Jaya. Pengurang-an daerah konvektif di selatan Indonesia ini dapat dimengerti dari analisis angin 850 mb yang mulai memperlihatkan adanya kenaikan kecepatan angin.

3. Maret
Pola curah hujan rata rata bulan Maret masih menunjukkan pola serupa seperti bulan Februari dan Januari. Dengan intensitas dan pola penyebar-an yang serupa dengan pola bulan Februari, penjelasan penyebaran pola tidak jauh beda dengan bulan Februari. Penurunan pengaruh Fohn effect di Makasar lebih diakibatkan terlalu lemahnya angin di daerah tersebut (< 2 m/s). Pada bulan ini, meskipun pola angin masih seragam dengan pola NDJFM yang menunjukkan pola monsun Asia, tetapi justru pengaruh monsun paling kecil pada bulan ini.

Dari analisis angin ECMWF, terlihat bahwa daerah pusaran angin di daerah sebelah utara Australia lebih mendekat ke arah Indonesia. Secara umum kecepatan angin sangat lemah (< 2 m/s) sehingga pola hujan yang mungkin terjadi bukanlah pola musiman tetapi lebih disebabkan oleh faktor gangguan lokal. Pola angin yang sangat mirip dengan bulan Februari tetapi dengan kecepatan yang jauh lebih rendah ini dapat dimengerti dari analisis pola suhu permukaan yang masih seragam dengan pola di bulan Februari. Di sebelah selatan Indonesia pe-nyebaran daerah bersuhu tinggi menyebabkan daerah ini mengalami penurunan kecepatan angin karena penyebaran daerah ini meluas hingga sebelah barat Sumatera utara.

Pola OLR menunjukkan bahwa daerah konvektif masih terdapat di sebelah barat Sumatera yang mana terjadinya lebih disebabkan oleh karena terdapatnya daerah perputaran arah angin disini. Daerah potensial konvektif juga terjadi di daerah Maluku tengah. Interpretasi yang logis dari hasil di daerah Maluku ini masih belum jelas.

4. April
Bulan ini ditandai dengan menurunnya curah hujan rata rata di Indonesia bagian selatan. Terlebih di daerah Nusa Tenggara dimana mulai terlihat kedatangan musim kemarau atau monsun Australia yang kering. Sebagian besar daerah Jawa berpeluang hujan antara 150 – 200 mm/bulan. Hampir seluruh Indonesia memiliki peluang yang serupa seperti ini. Sementara sebagian daerah Sumatera, seluruh Kalimantan dan Irian Jaya, masih memiliki hujan relatif tinggi. Daerah hujan rendah di daerah kedatangan monsun Asia semakin mengecil. Dari analisis angin 850 mb, dapat disimpulkan bahwa bulan April merupakan bulan transisi dari musim basah menuju musim kering. Pola angin yang jauh dari seragam hampir terjadi disemua daerah terutama Indonesia bagian barat. Keberadaan ITCZ yang terletak tepat di khatulistiwa jelas terlihat di pola angin diatas Maluku dan Irian Jaya. Pada bulan ini angin tidak lagi berasal dari daerah monsun Asia, malahan angin kuat mulai mengalir dari benua Australia. Keberadaan daerah siklon tropis di utara benua Australia juga menghi¬lang. Arah angin yang mulai mengarah dari Austra¬lia ini dapat dilihat dari pengaruhnya pada pola hu¬jan di daerah nusa tenggara yang intensitasnya sangat menurun (< 100 mm). Arah angin pada periode transisi ini yang tidak homogen dapat dimengerti dari pola suhu permukaan yang meng¬gambarkan pola suhu tinggi hampir diseluruh wi¬layah Indonesia, dengan ini dapat dimengerti bahwa pada bulan ini pola hujan terjadinya lebih dikarenakan faktor gangguan lokal. Karena suplai udara basah sudah jauh berkurang. Pola suhu permukaan, dalam bulan JFM menunjukkan daerah bersuhu tinggi di selatan Indonesia atau utara Australia yang menjadi faktor pendorong aliran udara dari Asia ke daerah tersebut. Dengan meratanya penyebaran suhu tinggi permukaan maka tidak mungkin tampil daerah yang arah anginnya homogen seperti perioda tersebut.

Dari pola OLR terlihat bahwa penyebaran daerah konvektif masih terjadi disebelah barat Sumatera, Maluku tengah dan Irian Jaya. Hal ini tidak jauh beda dengan kondisi tiga bulan sebelumnya. Kedatangan monsun Australia yang sudah mulai jelas, juga terlihat daerah bernilai OLR rendah di Nusa Tenggara. Walau kedatangan monsun Australia sudah mulai terdeteksi secara umum Indonesia pada bulan ini ada dalam perioda transisi.

5. Mei
Pola hujan bulan ini menunjukkan daerah intensitas cukup merata (150 – 200 mm) hampir diseluruh Indonesia. Kecuali di sebelah barat Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Daerah kering meluas hingga Jawa Tengah dan Sulawesi selatan. Dapat dikatakan bahwa pada bulan ini Indonesia bagian selatan sudah memasuki musim kemarau.

Dari pola angin 850 mb, kondisi transisi masih bertahan terutama di Kalimantan. Dominasi angin dari Australia semakin menyeruak masuk dan ITCZ mulai tidak jelas keberadaannya. Selain dominasi angin dari Australia yang kering ternyata selatan Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi angin kencang yang menghambat terjadinya hujan. Kondisi transisi tidak jelas terutama terlihat dari suhu permukaan, maksimumnya bergeser ke belahan utara pada bulan ini. Sebagian besar daerah Indonesia mengalami angin kecepatan “sedang” hingga “rendah” yang memung-kinkan timbulnya hujan akibat gangguan lokal. Dari pola OLR terlihat bahwa daerah konvektif juga berkurang dan daerah kering semakin meluas di Indonesia bagian selatan. Daerah konvektif di barat Sumatera dan Maluku meluas ke utara.

6. Juni
Pola hujan pada bulan ini ditandai dengan makin meluasnya musim kemarau hingga Sumatera utara. Se-luruh Jawa telah masuk musim kemarau dengan beberapa daerah memiliki curah hujan dibawah 100 mm. Daerah hujan tinggi masih terdapat di sebelah barat Sumatera dan Kalimantan utara. Sedangkan di Maluku tengah terdapat daerah dengan curah hujan tinggi. Daerah lainnya, curah hujan merata dengan intensitas 150 – 200 mm. Daerah musim kemarau memiliki intensitas hujan hingga 0 mm.

Pola angin pada bulan ini lebih kurang homogen. Angin berkecepatan tinggi datang dari benua Australia menuju Asia dan sangat berpengaruh pada kondisi musim kemarau terutama pada daerah Nusa Tenggara dan Maluku selatan. Dilihat dari pola suhu permukaan, pemisahan daerah 3010K mulai tampak antara belahan bumi selatan dan utara. Hal inilah yang membantu memperkuat angin dominan di Indonesia yang berasal dari Australia. Suhu permukaan ditengah benua Australia telah turun jauh hingga mengakibatkan angin berkecepatan tinggi.

Pola OLR bulan ini menunjukkan daerah konvektif hanya terdapat di barat Sumatera dan umumnya di sebelah utara Indonesia. Pola musim kemarau di selatan Indonesia tidak berubah hingga daerah Kalimantan selatan sebagaimana pola hujan bulan ini.

7. Juli
Pola hujan bulan Juli mennjukkan peningkatan daerah musim kemarau dalam hal daerah yang intensitas curah hujan < 100 mm. Secara umum pola yang digambarkan serupa dengan bulan Juni. Daerah musim kemarau meluas hingga Sulawesi utara. Pola angin pada bulan ini juga tidak menunjukkan perbedaan nyata dengan bulan sebelumnya. Hal ini dapat dimengerti karena dari pola suhu permukaan juga tidak terlihat pola yang berubah jelas jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Semen-tara dari pola OLR kita melihat bahwa daerah musim kemarau semakin mendesak keatas dan meluas. Seluruh Jawa telah menjadi daerah non-konvektif.

8. Agustus
Pada bulan Agustus ini seluruh pulau Sulawesi memasuki musim kemarau. Hanya daerah sebelah barat Sumatera curah hujan tinggi masih bertahan. Dapat dikatakan bahwa puncak musim kemarau terjadi pada bulan ini. Kemarau terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia kecuali Su¬matera bagian barat, sebagian Kalimantan, Maluku tengah dan Irian Jaya. Pergerakan monsun Australia atau musim kemarau berjalan teratur dan mencapai maksimum pada bulan ini. Di daerah nusa teng-gara, intensitas hujan mencapai 0 mm. Dari pola angin, tidak tampak perubahan diban¬dingkan dengan bulan sebelumnya. Dapat dikata¬kan selama lima bulan MJJAS, pola angin berlang¬sung secara homogen. Bertahannya curah hujan tinggi di sebelah barat Sumatera, sebagian Kali¬mantan dan Irian Jaya adalah karena perputaran angin di daerah ini. Dari pola suhu permukaan sebenarnya belahan bumi utara pada bulan ini tidak terlalu hangat (>3020K), tetapi suhu di belahan bumi selatan terlalu rendah (<298 derajat Kalvin) sehingga angin yang mengalir di Indonesia tetap kencang.

Serupa dengan pola hujan rata rata bulanan, dari pola OLR dapat dilihat bahwa pada bulan ini daerah musim kemarau mencapai daerah terluas atau bulan ini adalah puncak dari musim kemarau. Daerah konvektif hanya terlihat di sebelah barat Sumatera dan daerah daerah di utara Indonesia.

9. September
Bulan september merupakan awal dari peluruhan monsun Australia yang digambarkan dengan pe-ngurangan daerah musim kemarau. Daerah musim kemarau disebelah utara Sumatera menghilang. Musim kemarau masih ada di Sumsel, Jawa hingga Timor, Sulawesi dan Maluku. Daerah Maluku utara dan Irian tetap bertahan dengan curah hujan sedang. Daerah hujan minimum di sebelah selatan Indonesia juga mulai menampakkan peningkatan intensitasnya. Daerah minim hujan di Sumatera juga sudah mulai menampakkan peningkatan intensitas.

Pola angin bulan ini menunjukkan pola yang serupa dengan pola angin MJJAS. Berta¬hannya secara homogen pola angin ini selama lima bulan me-nunjukkan kuatnya pengaruh monsun Australia di Indonesia. Dari pola suhu permukaan, terlihat bah-wa di selatan Indonesia suhu permukaan mulai meningkat. Terutama hilangnya kontur suhu < 298 derajat Kalvin di utara Australia yang dapat diartikan mulai berkurangnya suplai udara kering dari benua ini.

Pola OLR menunjukkan adanya peningkatan daerah konvektif di sebelah barat Sumatera. Daerah ini menunjukkan nilai OLR yang tinggi yang menandakan tingginya aktivitas konveksi disini. Dari pola bulan ini juga mulai terlihat pindahnya aktivitas konvektif ke wilayah Indonesia dari utara. Secara umum, Indonesia masih mengalami pola monsun Australia. Hal ini jelas terlihat dari pola angin yang masih serupa dengan pola MJJAS.

10. Oktober
Dari pola hujan bulanan, terjadi pergerakan daerah musim kemarau yang beralih ke Indonesia timur. Batas musim kemarau mulai dari Jawa timur hingga menutupi seluruh Indonesia timur kecuali Irian Jaya. Hal yang menarik lainnya adalah datangnya pengaruh monsun Asia yang nampak dengan timbulnya daerah hujan di utara Kalimantan yang dekat dengan Asia. Daerah lainnya yang memiliki curah hujan tinggi adalah sebelah barat Sumatera dengan penyebab klasiknya yaitu pusaran angin di barat Sumatera. Pola angin 850 mb pada bulan ini tetap menggam¬barkan pola monsun Australia. Kalau dibandingkan dengan pola hujan hasil pengamatan, tidak dapat dikatakan bahwa hanya monsun Australia yang berpengaruh pada bulan ini. Dari data angin mulai terlihat pindahnya daerah ITCZ di utara Indonesia. Dari pola suhu permukaan, terlihat peningkatan suhu permukaan di Australia utara. Secara umum, seperti bulan April, suhu permukaan hampir di selu¬ruh wilayah Indonesia seragam. Sehingga memperkuat hipothesis bahwa bulan ini dikategorikan seba¬gai masa transisi. Sesuai dengan gambar pola hujan bulan Oktober, dari pola OLR terlihat juga bahwa musim kemarau masih terbentang di Indonesia bagian selatan meskipun wilayahnya jauh lebih kecil daripada sebelumnya.

11. Nopember
Pola hujan bulan ini menunjukkan pudarnya peng-aruh monsun Australia dan masuknya monsun Asia dengan udara basah sehingga di wilayah utara tampak peningkatan curah hujan bulanan. Daerah seperti Kalimantan menerima curah hujan hingga lebih dari 350 mm. Daerah musim kemarau seperti Sulawesi dan Jawa juga mulai menerima peningkatan curah hujan. Daerah penurunan intensitas hujan malah terjadi di Irian Jaya bagian selatan. Meskipun masih terdapat musim kemarau, daerah nusa tenggara menerima curah hujan sedang antara 50 – 150 mm. Sehingga dapat dikatakan, pada bulan ini musim kemarau telah lenyap dan digantikan oleh kehadiran monsun Asia yang basah.

Kondisi pola angin bulan Nopember sangat menarik untuk disimak, terlihat daerah ITCZ mulai berpindah ke khatulistiwa. Munculnya kembali daerah ITCZ ini lebih diakibatkan tekanan monsun Asia karena perpindahan posisi lintang matahari. Selain ITCZ, hampir diseluruh wilayah Indonesia terjadi penurunan kecepatan angin yang mendorong timbulnya aktivitas gangguan lokal untuk mempe¬ngaruhi intensitas hujan. Dari pola OLR terlihat pengurangan luas daerah konveksi di sebelah selatan Indonesia. Selain itu daerah konvektif di Sumatera dan Riau kepulauan juga mengalami peningkatan nilai OLR. Hal ini dapat dimengerti dari pola hujan bulan ini.

12. Desember
Dalam bulan terakhir ini dapat dilihat bahwa pola monsun Asia dominan di bagian barat Indonesia hingga Sulawesi selatan. Data penakar di Makasar menunjukkan timbulnya pengaruh Fohn effect. Sedangkan situasi monsun Australia sudah menghilang sama sekali. Peningkatan intensitas hujan terjadi hampir di seluruh wilayah. Mengikuti pola sebelumnya daerah yang intensitas hujan minimal terjadi di Maluku dan Irian. Dari pola angin terlihat perpindahan lokasi ITCZ lebih ke selatan dan semakin dominannya aliran angin dari Asia. Kecuali Nusa Tenggara, maka seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh monsun Asia. Perlu dicatat juga mulai timbulnya pengaruh siklon tropis di utara Australia. Mulai dominannya angin dari Asia juga dapat dijelaskan dengan pola suhu permukaan. Dari pola suhu permukaan terlihat bahwa di belahan bumi selatan suhu permukaan lebih tinggi dari belahan bumi utara. Malah di benua Australia, suhu permukaan lebih tinggi dari 303oK. Dari pola OLR juga terlihat tidak adanya daerah non konvektif. Wilayah dengan nilai OLR rendah sudah menyingkir jauh dari wilayah Nusa Tenggara. Angin di selatan Indonesia juga berkecepatan rendah, yang memudahkan timbulnya pengaruh gangguan lokal. Wilayah dengan nilai OLR tinggi meluas, seperti di Irian Jaya dapat dimengerti dengan melihat pola hujan bulanan pada bulan ini dimana intensitas curah hujan turut meningkat.

Wassalam   

Minggu, 21 Oktober 2012

Mengenal Gunung Api Gamalama


Seperti yang kita tahu bahwa di Provinsi Maluku Utara memiliki potensi sumber daya alam yang sangat luar biasa, diantaranya yaitu Gunung Api, terdapat 6 Gunung Api giat di Maluku Utara, 4 gunung tipe A dan 2 gunung tipe B. Gunung tipe A yaitu Dukono, Gamkonora, Gamalama dan Kie besi sedangkan tipe B yaitu Malupang Warirang dan Tokodo sementara G. Ibu tidak termasuk karena tidak ada rekapan datanya  (Direktorat Vulkanologi, 1979).

Lebih jauh saya akan coba mengurai lebih detail mengenai Gunung Gamalama.

Bentuk dan Struktur
Menurut Neuman van Padang (1951) Gunung Gamalama menempati seluruh pulau yang luasnya lebih kurang 48 Km2 dan hampir berbentuk lingkaran dengan jari-jari 5,8 Km. Memiliki beberapa kawah yaitu kawah Arafat, kawah madiena, K1, K2, K3 dan K4 (kawah yang belum diberi nama, red) dan memiliki 3 danau yang juga merupakan kawah (crater) yaitu danau Laguna, Tolire besar dan Tolire kecil. Gunung Gamalama memiliki tipe gunungapi Strato dengan tinggi di atas permukaan laut 1715 m dan tinggi dari dasar laut 2700 m.
Menurut Petroeschevsky (1947) titik tengah G. Gamalama berada pada 4,5 Km dari pantai barat, dan 6 Km dari pantai timur, utara dan selatan. Puncak Arafat terletak di 1 Km sebelah barat dari tengah pulau.
  Gambar kawah aktif Gunung Gamalama

Rekonstruksi sejarah letusan
Pada saat terjadi letusan pertama yang paling dahsyat (tidak ditemukan tahun pastinya), kerucut gunungapi yang lebih tinggi menyisakan punggung G. Kekau atau Bukit Melayu yang merupakan bagian pinggir dari kawah yang tertua. Setelah itu terbentuk sebuah puncak kerucut yang tidak begitu tinggi. Punggung Madiena merupakan sisanya. Kemudian membentuk kerucut yang sekarang aktif yaitu G. Arafat. kerucut yang terdiri dari bahan piroklastik ini terbentuk tidak setinggi yang dahulu. Kawah Arafat ini terletak lebih ke utara dari titik tengah G. Gamalama. Pinggir kawah Arafat yang terendah berada di sebelah timur laut. Ini lah yang menyebabkan pada saat terjadi letusan leleran lava mnegalir ke arah timur laut pulau. 
Dari bukti kemiringan lereng yang lebih terjal di sebelah selatan hingga barat Ternate, mengindikasikan bahwa di zaman sebelum sejarah kawah gunung api terletak disebelah selatan dan barat laut.
Untuk pertama kalinya dalam periode pencatatan, Gunung Galama meletus pada tahun 1538 dengan letusan explosive dari saat itu hingga kini G. Gamalama sangat giat meletus.

Cara mencapai puncak    
Cara mencapai puncak Gunung Gamalama dapat melewati berbagai macam jalur, dapat juga melalui Marikrubu kemudian ke Air tege-tege dimana pendakian melalui sini sangat berat karena terus menanjak, kemudian akan ditemui Air Abdasi pada ketinggian lebih kurang 1400 mdpl. Disini terdapat jejak aliran lava lama dimana lekukannya terisi air hujan. Kemudian mencapai punggung gunung yang sempit yaitu gunung Melayu yang memiliki kemiringan lereng lebih kurang 60 derajat. Dari sini terlihat jelas punggung bukit lainnya yaitu Bukit Keramat atau G. Madiena dan sedikit punggung Arafat.
Jalannya sudah mulai agak mendatar, vegetasinya ditumbuhi semak belukar yang tebal. kemudian dengan mandaki sedikit ditemuilah bukit keramat yaitu sisa kawah lama yang melalui bahan piroklastik dan tampak bongkahan lava.
 Gambar Batu Angus

Pembahasan selanjutnya mengenai hubungan karakteristik G. Gamalama dengan bentuklahan (landform) Pulau Ternate, Kaitan G. Gamalama dengan kebencanaan, dan Dinamika Erupsi G. Gamalama. Dan lebih banyak lagi yang dapat dibahas mengenai Gunung Gamalam.

Sumber: Direktorat Vulkanologi, 1979

Jumat, 19 Oktober 2012

Bentuklahan (landform) Pulau Ternate

Tahukah bahwa mengapa di Pulau Ternate wilayah pemukiman banyak di sebelah timur pulau berhadapan dengan pulau besar Halmahera???? Hal ini terkait dengan keamanan dan kenyamanan dalam melakukan aktiftas keseharian kita di pulau Ternate dari awal berkembangnya Ternate.

Bagi pembaca yang belum mengetahui Pulau Ternate berikut sekilas mengenai Ternate. Pulau Ternate merupakan pulau gunung berapi yang diberi nama Gunung Gamalam. Terletak diantara pulau Halmahera di sebelah timur, pulau Sulawesi di sebelah barat, di sebelah utaranya terdapat lautan pasifik dan sebelah tenggara pulau Tidore. Secara administrastif Pulau Ternate menjadi ibukota Kota Ternate Provinsi Maluku Utara. Di pulau Ternate terdapat 4 kecamatan yaitu kecamatan Ternate Tengah, Ternate Selatan, Ternate Utara dan kecamatan Pulau Ternate. Memiliki keliling lebih kurang 48 Km2 sehingga jika menggunakan motor mengelilingi pulau hanya menempuh waktu selama lebih kurang 1 jam.

Pembaca dapat membayangkan bagaimana kecilnya Pulau Ternate ini, biar kecil namun penduduknya paling padat di Provinsi Maluku Utara sekitar 688, 05 jiwa/Km2 dan sekitar 80% nya melakukan aktifitas pada bagian timur pulau. Jika boleh berkhayal, pulau ini berupa perahu maka perahu ini sudah miring ke sebelah timur bahkan barangkali sudah tenggelam karena berat sebelah. Kenapa dari masa perkembangan pemukiman di pulau Ternate banyak menempati wilayah timur?? kondisi wilayah inilah yang menjadi jawabannya. hal ini dapat dilihat dari bentuklahan (landform) pulau Ternate. Baiklah berikut saya akan memaparkan bentuklahan pulau Ternate.
Hillshade Pulau Ternate

Dalam mengidentifikasikan landform pulau Ternate menggunakan data digital elevation model (DEM) dari SRTM 90 m kemudian di buat Hillshide agar terlihat bentuk lekukan bukit dan lembah lalu diinterpretasikan batasan-batasan unit landform berdasarkan geomorfologi, geokronologi, geogenesis dan lithologi. Dari hasil analisis dan interpretasi tersebut maka pulau Ternate memiliki 12 tipe landform yang mencirikan landform vulkanik.  Selain itu, landform juga menggambarkan kondisi kemiringan lereng.

Landform Pulau Ternate. Sumber: Ikqra (2012)

Bagaimanakah hubungan landform dengan kemiringan lereng??? berikut saya sajikan tabelnya;

Kemiringan lereng (%)
Landform
0 – 8
Tersebar pada landform gisik pantai, dataran pantai anthropgenik dan lereng kaki vulkanik.
8 – 15
Umumnya berada pada landform lereng kaki vulkanik dan lereng bawah kerucut vulkanik.
15 – 30
Tersebar pada landform lereng kaki fluvio vulkanik, lereng bawah kerucut vulkanik dan sedikit pada lereng atas kerucut vulkanik.
30 – 45
Pada umumnya tersebar pada lereng bawah vulkanik, lereng tengah kerucut vulkanik dan sedikit pada lereng atas kerucut vulkanik.
>45
Mendominasi landform lereng bawah kerucut vulkanik, lereng tengah kerucut vulkanik, lereng atas kerucut vulkanik dan lereng puncak vulkanik terutama pada sebelah barat dari crater.
Sumber: Ikqra (2012)

Dari hal tersebut tentulah kita dapat melihat kenapa banyak pemukiman pada wilayah di bagian timur Pulau Ternate. Demikianlah uraian ini semoga kita dapat menyadari bagaimana jika perluasan pemukiman terus bertambah?? sudah dapat dipastikan akan merubah landform, kemudian pertanyaan selanjutnya beresikokah jika merubah landform??? apalagi jika tidak dikelola dengan baik dan ramah lingkungan, sudah pasti akan menimbulkan korban jika terjadi fenomena alam yang normal sekalipun. Wassalam.

  

Kamis, 18 Oktober 2012

EROSI DAN DAMPAKNYA SEBAGAI BENTUK KERUSAKAN LAHAN PERTANIAN


PENDAHULUAN
I.       Latar belakang
Menurut UU no. 41/2009 lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia.  Sementara lahan pertanian adalah bidang lahan yang digunakan untuk usaha pertanian. 
Usaha dalam bidang pertanian digenjot sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan manusia akan pangan dan pakaian sehingga dengan bertambahnya jumlah penduduk maka sistem pertanian lebih diintensifkan dan diperluas bahkan sampai pada tanah-tanah yang kurang produktif, lereng-lereng curam dan peka terhadap erosi. Karena lahan digunakan untuk suatu usaha menuju kesejahteraan manusia, maka lahan tersebut dapat mengalami kerusakan.
            Kerusakan lahan adalah perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisk dan atau hayatinya yang mengakibatkan lahan tidak lagi dapat berfungsi secara optimal dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (PERMEN RI No.4/2001). Dari pengertian diatas bahwa kerusakan lahan merupakan lahan yang tidak dapat berfungsi secara optimal sehingga dapat menyebabkan lahan kritis yang dapat disebabkan oleh faktor perusak lahan.
Banyak faktor yang dapat merusak lahan, menurut UU No. 41/2009 penyebab kerusakan lahan ialah makin meningkatnya pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri yang mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian. Secara garis besar, penyebab kerusakan lahan disebabkan oleh 2 hal yaitu; 1) Natural hazards, dimana secara instrinsik lahan mempunyai potensi untuk mengalami kerusakan; 2) Manusia, dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak tepat (Baskoro dkk, 2010).  Salah satu bentuk kerusak lahan pertanian yang disebabkan oleh faktor diatas yaitu erosi. Erosi adalah proses berpindahnya/terangkutnya tanah atau bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain (Sinukaban, 1989).  
Menurut Arsyad (1989) kerusakan yang ditimbulkan karena erosi terjadi di dua tempat yaitu 1) pada tanah tempat erosi terjadi; 2) pada tempat tujuan akhir tanah yang terangkut tersebut diendapkan.
Oleh karena dampak erosi dapat sangat berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah maka erosi ini harus dapat dicegah yang bertujuan untuk mengontrol laju erosi supaya berada dalam batas yang dapat ditoleransikan dan melestarikan produktifitas lahan.


II.      Perumusan masalah
Karya tulis ini memfokuskan tulisan pada proses bagaimana terjadinya erosi sehingga menyebabkan kerusakan lahan, dampak erosi dan upaya-upaya dalam pencegahan erosi.


TINJAUAN PUSTAKA

I.       Kerusakan lahan
            Menurut FAO (1977), lahan ialah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal seperti biosfer, atmosfer, tanah, geologi, relief, hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini yang boleh dibilang bersifat mantap atau dapat dikirakan bersifat mendaur sejauh hal-hal tersebut berpengaruh signifikan atas penggunaan lahan pada masa kini dan mendatang.
            Selain itu, lahan juga merupakan suatu wilayah yang berfungsi suatu lingkungan untuk kepentingan manusia dimana lahan bersifat geografik karena lahan dipandang selaku perpaduan berbagai bentuk daratan yang membentuk mosaik bentang lahan (Notohadinegoro, 1986).
            Kerusakan lahan merujuk kepada penurunan kapasitas lahan bagi produksi atau penurunan potensi bagi pengelolaan lingkungan (Pieri, dkk,. 1995).
            Menurut Pieri, dkk,. (1995), kerusakan lahan dapat berupa 1) erosi air; 2) erosi angin; 3) penurunan kesuburan tanah; 4) kehilangan bio-aktifitas tanah; 5) penggaraman; 6) water logging; 7) penurunan muka air tanah; 8) pencemaran tanah; 9) deforestation; 10) perusakan hutan; 11) pengrusakan padang penggembalaan; 12) desertification.
            Kerusakan lahan juga dapat terjadi karena peristiwa alam (gempa, longsoran, perubahan iklim), perbuatan manusia atau penggabungan peristiwa alam dengan perbuatan manusia (Notohadinegoro, 1986).


II.      Erosi
            Pada dasarnya terdapat dua jenis erosi yaitu erosi normal (geologi) dan erosi yang dipercepat.  Erosi geologi /erosi alami  yang merupakan proses pengangkutan tanah yang terjadi dibawah vegetasi alam.  Biasanya ini terjadi pada keadaan lambat yang memungkinkan terbentuknya tanah yang teal yang mampu mendukung pertumbuhan vegetasi secara normal.  Proses geologi meliputi terjadinya pembentukan tanah dipermukaan bumi secara alami.  Dalam hal ini erosi yang terjadi tidak melebihi laju pembentukan tanah.  Erosi dipercepat adalah pengangkutan tanah yang menimbulkan kerusakan tanah sebagai akibat perbuatan manusia yang mengganggu keseimbangan antara proses pembentukan dan pengangkutan tanah oleh sebab itu, hanya erosi dipercepat inilah yang menjadi perhatian konservasi tanah (Arsyad, 2000).
            Menurut Syakur (2008) faktor alam yang mempengaruhi erosi adalah erodibiltas tanah, karakteristik lanscape dan iklim. 1) Erodibiltas tanah adalah kepekaan/ketahanan tanah terhadap erosi, dimana erodibilitas ini tergantung pada sifat fisik dan kimia tanah seperti kadar bahan organik, tekstur, struktur, permebilitas, jenis mineral liat dan kandungan kation. Namun erodibiltas dapat diperbaiki dengan meningkatkan agregat tanah, kemiringan dan panjang lereng, serta faktor vegetasi dan pengelolaan lahan guna mengurangi jumlah aliran permukaan, laju serta jumlah erosi. 2) Karakteristik lanscape juga dapat mempengaruhi erosi, terutama topografi dimana kemiringan dan panjang lereng yang paling berpengaruh selain itu konfigurasi, keseragaman dan arah lereng. 3)  Hujan merupakan faktor iklim yang paling berpengaruh dalam erosi terutama didaerah dengan ikim basah.  Besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan mennetukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan kerusakan erosi (Arsyad, 1989; Sinukaban, 1989).
            Erosi merupakan proses yang kompleks yang ditentukan oleh jumlah, intensitas dan lamanya hujan, jumlah dan kecepatan aliran permukaan penutup tanah, lereng permukaan dan kondisi pengolahan tanah.  Ellison (1947) dalam Sinukaban (1989) mendeskripsikan secara umum mekanisme erosi sebagai proses pemecahan dan pengangkutan bahan-bahan tanah dan memecahkan bongkahan atau agregat tanah. Selanjutnya dirincikan proses erosi terdiri dari 4 fase yaitu;
  1. Pemecahan
  2. Pengangkatan (entrainment)
  3. Pengangkutan (transportation)
  4. pengendapan (deposition)
   PEMECAHAN MASALAH

I.       Proses terjadinya erosi
            Air merupakan penyebab utama erosi tanah pada daerah beriklim tropik basah. Proses erosi air merupakan kombinasi dua sub proses yaitu 1) penghancuran struktur tanah menjadi butir-butir primer oleh energi tumbuk butir hujan yang menimpa tanah dan perendaman oleh air yang tergenang dan pemindahan butir-butir tanah oleh percikan hujan; 2) penghancuran struktur tanah diikuti pengangkutan butir-butir tanah tersebut oleh air yang mengalir dipermukaan tanah (Arsyad, 1989).
            Air hujan yang menimpa tanah-tanah terbuka akan menyebabkan tanah terdispersi. Sebagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan mengalir diatas permukaan tanah.  Banyaknya air yang mengalir diatas permukaan tanah tergantung pada hubungan antara jumlah dan intensitas hujan dengan kapasitas infiltrasi tanah dan kapasitas penyimpanan air.  Kekuatan pengrusakan air terhadap tanah akan semakin besar jika makin curam dan makin panjang lerang permukaan tanah.
            Ellison (1947) dalam Sinukaban (1989) mendiskripsikan mekanisme erosi sebagai proses pemecahan dan pengangkutan bahan-bahan tanah oleh penyebab erosi, dimana terdapat empat fase yaitu;
1)    Pemecahan
Partikel tanah dapat dipecah dari matriks tanah oleh pukulan jatuh butir hujan atau oleh kekuatan menggerus aliran permukaan.  Pada permukaan tanah yang tidak dilindungi, pukulan jatuh butir hujan adalah penyebab utama dalam pemecahan/pelepasan tanah.
2)    Pengangkatan
Partikel tanah yang sudah terlepas dan terangkat dapat diangkut oleh air yang sedang bergerak.  Dalam erosi percikan partikel tanah yang telah lepas dipercikan keudara dan jatuh kembali kepermukaan tanah ditempat lain
3)    Pengangkutan
Kapasitas mengangkut meningkat karena terkonsentrasi aliran dan adanya turbulensi yang memiliki energi mengangkut dan menggerus.  Dengan meningkatnya kapasitas mengangkut maka laju erosi pun meningkat bila partikel tanah berukuran dapat diangkut cukup tersedia.
4)    Pengendapan
Pengendapan partikel tanah yang terangkat dapat terjadi pada setiap titik sepanjang lintasan aliran permukaan.  Deposisi (pengendapan) dapat terjadi apabila kapasitas mengakut aliran permukaan berkurang sampai titik dimana aliran tidak mampu lagi mengangkut seluruh sedimen yang terbawa. 

II.      Dampak erosi pada tempat erosi terjadi
            Menurut Arsyad (1989) kerusakan yang dialami pada tanah tempat erosi terjadi berupa kemunduran sifat-sifat kimia dan fisika tanah seperti kehilangan unsur hara dan bahan organik serta memburuknya sifat-sifat fisik yang tercermin antara lain pada menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air. Selain itu dampak erosi pada tempat erosi terjadi sebagai berikut:
1.  Kehilangan lapisan atas tanah.
Lapisan atas tanah (Top soil) yang relatif kaya unsur hara dan bahan organik dan memiliki sifat fisik yang baik bagi tempat akar tanaman berjangkar dapat rusak.  Banyaknya unsur hara yang hilang oleh erosi tergantung dari besarnya erosi dan unsur hara yang terkandung dalam tanah yang tererosi.  Banyaknya unsur hara yang tererosi dapat dihitung dengan mengalikan kandungan unsur hara tanah semula dengan besarnya tanah tererosi.
2.    Meningkatnya penggunaan energi untuk produksi
3.    Kemerosotan produktifitas tanah.
Kemerosotan produktifitas tanah dapat menyebabkan tanah tidak dapat digunakan untuk produksi tanaman.  Hal ini tergantung pada jenis tanaman dan perubahan sifat tanah berdasarkan kedalaman tanah.  Shah (1982) mengelompokan hubungan antara produktifitas tanah dengan tingkat erosi sebagai berikut;
a)        Kelompok I; yaitu tanah yang kurang peka terhadap penurunan produktifitas.  Artinya penurunan kualitas sifat fisik dan kimia tanah berdasarkan kedalaman terjadi secara gradual atau tidak secara drastis.
b)        Kelompok II; yaitu tanah yang peka dalam penurunan produktifitas.  Artinya penurunan kualitas sifat fisik dan kimia berdasarkan kedalaman terjadi secara agak cepat atau agak drastis.
c)        Kelompok III; yaitu tanah yang sangat peka terhadap penurunan produktifitas. Artinya penurunan kualitas sifat fisik dan kimia berdasarkan kedalaman tanah terjadi dengan cepat ata drastis.
4.    Kerusakan bangunan konservasi dan bangunan lainnya.
5.    Pemiskinan petani penggarap dan/atau pemilik tanah
Hal ini berkaitan erat dengan ancaman erosi terhadap sistem usaha tani.  Dimana sistem usaha tani dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria seperti diantaranya intensitas penggunaan tanah.

III.    Dampak langsung diluar tempat kejadian erosi
1.  Pelumpuran atau sedimentasi
Pelumpuran atau sedimentasi dapat menyebabkan pendangkalan pada waduk, sungai, saluran irigasi, muara sungai, pelabuhan dan badan air lainnya. Dengan meningkatnya jumlah aliran permukaan dan mendangkalnya sungai akan mengakibatkan banjir.  Selain itu, eutrofikasi yaitu proses pengayaan badan air dengan unsur hara yang cepat diikuti oleh pertumbuhan mikroba dan tumbuhan air.
2.    Tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan rumah atau bangunan lainnya.
3.    Menghilangnya mata air dan memburuknya kualitas air.
Berkurangnya infiltrasi air ke dalam tanah menyebabkan berkurangnya pengisian kembali air bawah tanah (ground water). Sehingga dapat menghilangkan mata air.  Selain itu, eutrifikasi yang dapat menumbuhkan mikroba dapat memperburuk kualitas air sehingga dapat meningkatkan kejadian penyakit yang berkaitan dengan air (tipus, kolera, malaria dan disentri).
4.  Kerusakan ekosistem perairan
Dengan eutrofikasi, dapat juga menyebabkan menurunnya oksigen yang larut dalam air, ikan yang tercemar dan mati, perusakan terumbu karang dan tempat bertelur ikan.
5.  Kehilangan nyawa oleh banjir dan tertimbun longsor
Ancaman erosi secara tidak langsung yaitu kehilangan nyawa oleh banjir dan tertimbun tanah longsor dimana banjir disebabkan oleh salah satunya proses sedimentasi pada daerah hilir sehingga waduk atau lainnya karena sedimentasi mengalami pendangkalan sehingga tidak mampu menampung air hujan sehingga meluap dan menggenangi daerah sekitar.  Begitu juga dengan tanah longsor terjadi karena adanya erosi dibawah permukaan tanah sehingga terjadi bidang lucur untuk tanah diatasnya sehingga dapat menimbun masyarakat yang berada didaerah terjadinya tanah longsor.
6.    Meningkatnya areal banjir dan frekuensi serta lamanya waktu banjir dimusim hujan dan meningkatnya ancaman kekeringan pada musim kemarau.

IV.   Dampak Tidak langsung ditempat kejadian erosi
1.    Berkurangnya alternatif penggunaan lahan
2.    Timbulnya dorongan atau tekanan untuk membuka lahan baru dengan membabat hutan.
3.    Timbulnya keperluan penyediaan dana untuk perbaikan bangunan konservasi yang rusak.

V.     Dampak tidak langsung diluar tempat kejadian erosi
Dampak tidak langsung diluar tempat kejadian erosi ini yaitu kerugian akibat memendeknya umur guna waduk dan saluran irigasi dan tidak berfungsinya badan air lainnya.
            Menurut Troeh dkk (1980) ancaman erosi berupa; kehilangan lapisan tanah, kehilangan nutrisi tanaman, perubahan tekstur tanah, kerusakan struktur tanah, kehilangan produktifita tanah, pengurangan lahan, kerusakan struktur bangunan, polusi air dan sedimentasi.
1.     Kehilangan lapisan tanah; kehancuran yang paling terlihat dari erosi air adalah berpindahnya lapisan permukaan tanah.  Topsoil umumnya dapat terbebas dan lebih permiable dibandingkan material tanah dibawahnya dan ini mengandung bahan organik dan tingkat kesuburan yang baik dibandingkan subsoil.
2.     Kehilangan hara bagi tanaman; Di Amerika Serikat pada awal pergerakan konservasi, terjadi kehilangan nutrisi bagi tanaman yang sangat hebat yang diakibatkan oleh erosi yang tahunan.  Hal ini dikarenakan tercucinya hara yang diserap oleh tanaman sehingga hara tersebut tidak dapat digunakan oleh tanaman.
3.     Perubahan tekstur; erosi air sangat selektif.  Butir tanah yang lebih kasar berpindah dari tempat semula.  Berpindahan selektif ini membuat tanah berpasir menjadi pasir halus.  Tekstur sedang maupun besar tidak dapat berubah karena air memisahkan agregat tidak secara individual partikel tanah. Baik besar maupun kecil agregat tanah biasanya komposisi tekturnya sama.
4.     Kerusakan struktur; erosi air dapat merubah struktur dengan tiga cara, pertama karena lapisan bawah tanah biasanya kurang granular dan porous dibandingkan dibagian permukaan tanah, erosi mengekspos tanah yang permiabilitas rendah dipermukaan. Kedua, hantaman air hujan dapat memisahkan agregat pada permukaan dan memadatkan lapisan dibawahnya. Ketiga sebagai air perkolasi kedalam tanah, ini membawa bahan pemadat partikel ke dalam pori dan mencabut mereka lalu mengurangi permeabilitas tanah dan laju infiltrasi.
5.     Penurunan produktifitas; dengan menurunnya produktifitas topsoil dan ketersediaan nutrisi dan kemunduran struktur dimana dapat menyebabkan pengurangan kapasitas produktifitas tanah karena erosi.
6.     Pengurangan lahan; Para petani dapat melakukan usaha tani jika lahannya normal tapi ketika erosi tebing yang besar terjadi karena usaha tani menggunakan mesin maka usaha tani dapat lebih berkurang lahannya.
7.     Kerusakan struktur bangunan; erosi dapat menyebabkan kerusakan besar bagi bangunan, jalan, jembatan dan lainnya.  Fondasi bangunan dapat digali oleh pencucian dan longsoran dan erosi rayapan.
8.     Polusi air; yang paling besar penyebab polusi dari permukaan air, pada dasar volume adalah sedimen tanah. Pelumpuran sungai dan danau mengurangi fungsinya.  Masalah lainnya pada saat ini keterlibatan zat terkontaminasi yang terbawa kedalam sungai.  Pupuk dan pestisida yang tererosi kedalam sungai juga menjadi polutan yang berbahaya bagi ekosistem sungai.
9.     Sedimentasi; sedimen juga terakumulasi pada lembar sungai, danau dan reservoir dan dapat merubah kondisi ekologi dari lingkungan perairan dan merubah kehidupan tanaman juga hewan.

VI.   Upaya Pencegahan Erosi
            Pada saat menanam sudah sulit untuk dilakukan karena dampak erosi yang terjadi, ada beberapa upaya untuk melindungi permukaan tanah dari erosi air dan angin. Upaya tersebut bertujuan untuk menjaga agar tanah tidak terdispersi dan mengatur kekuatan gerak dan jumlah aliran permukaan agar tidka terjadi pengangkutan tanah.
            Berdasarkan upaya konservasi tersebut, ada tiga cara pendekatan dalam konservasi tanah yaitu:
  1.  Menutup tanah dengan tumbuhan dan tanaman atau sisa-sisa tumbuhan agar terlindungi dari daya perusak butir-butir hujan yang jatuh.
  2. Memperbaiki dan menjaga keadaan tanah agar resisten terhadap daya penghancuran agregat oleh tumbukan butir-butir hujan dan pengangkutan oleh aliran permukaan dan lebih besar dayanya untuk menyerap air di permukaan tanah.
  3. Mengatur aliran permukaan agar mengalir dengan kecepatan yang tidak merusak dan memperbesar jumlah air yang terinfiltrasi ke dalam tanah.
Dalam upaya dalam mencegah dan memperbaiki kerusakan lahan dari erosi, terdapat beberapa metoda yang dikenal dengan metoda konservasi tanah dan air yang digolongkan dalam tiga golongan utama yaitu;
1.      Metoda Vegetatif
Metoda vegetatif adalah penggunaan tanaman atau bagian-bagian tanaman atau sisa-sisanya untuk mengurangi daya tumbuk butir hujan yang jatuh, mengurangi jumlah dan kecepatan aliran permukaan yang pada akhirnya mengurangi erosi tanah.
Metoda vegetatif dalam konservasi tanah meliputi:
a.     Penanaman dalam strip
b.    Pengunaan sisa tanaman/tumbuhan
c.    Geotekstil
d.    Strip tumbuhan penyangga
e.    Tanaman penutup tanah
f.     Pergilitan tanaman
g.    Agroforestry
2.         Metoda Mekanik
Metoda mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. Fungsi metoda mekanik ini yaitu memperlambat aliran permukaan, menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak, memperbaiki atau memperbesar infiltrasi air kedalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah dan penyediaan air tanaman.
Metoda mekanik terdiri dari:
a.     Pengolahan tanah (tillage)
b.    Pengolahan tanah menurut kontur
c.    Guludan dan guludan bersaluran menurut kontur
d.    Parit pengelak
e.    Teras
f.     Dam penghambat
g.    Paerbaikan drainase
h.    Irigasi
3.         Metoda Kimia
Metoda kimia dengan menggunakan preparate kimia baik berupa senyawa sintetik maupun berupa bahan alami yang telah diolah dalam jumlah yang relatif sedikit untuk meningkatkan stabilitas agregat tanah dan mencegah erosi.
Beberapa preparate kimia yang dikembangkan sebagai berikut (de Boot, Gabriels dan Van develde, 1973);
a.     Polyvinyl alcohol
b.     Polyanion
c.      Polycation
d.     Dipole Polymer
e.     Emulsi bitume

PUSTAKA
 Arsyad Sitanala, 1989. Konservasi Tanah dan Air. Edisi pertama. IPB Press. Bogor

_____________, 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi kedua cetakan kedua. IPB Press. Bogor

Elcome David, 1998. Natural Resources. Stanley Thornes. England

Kohnke.H. and Bertrand. A. R., 1959. Soil Conservation. Purdue University. McGraw-Hill book Co., Inc. New york

Mori, Kiyoki., Sosrodarsono, Suyono., Takeda, Kensaku., Hidrologi untuk pengairan. PT. Pradnya Paramita. Jakarta

Peraturan Pemerintah No. 150 tahun 2000. Pengendalian kerusakan tanah.

Schwab.G.O., Frevert. R., Edminster. T.W., Barnes. K., 1981. Soil and water conservation engineering. Third ed. John willy and sons.Inc.

Sinukaban. Naik., 1989. Konservasi tanah dan air Pengelolaan didaerah transmigrasi. Jurusan Tanah FAPERTA. IPB. Bogor

_______________, 2007. Soil and Water Conservation in Sustainable Development. Dirjen RLPS. Bogor

Troeh. F., Hobbs. J.A and Donahue. R. L., 1980. Soil and water conservation for Productivity and environmental protection. Prentice-Hall.Inc. USA

Undang-undang Republik Indonesia No. 41 tahun 2009. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.