I. PENDAHULUAN
Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Pergerakan tersebut terjadi karena adanya faktor gaya yang terletak pada bidang tanah yang tidak rata atau disebut dengan lereng. Selanjutnya, gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh kedudukan muka air tanah, sifat fisik tanah, dan sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang bidang luncuran.
Faktor penyebab tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi, curah hujan, dan kegempaan. Selain faktor alamiah, juga disebabkan oleh faktor aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam, seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng, pemotongan lereng, dan penambangan.
Perubahan penggunaan lahan menjadi salah satu factor penyebab terjadinya bencana tanah longsor karena banyak mempengaruhi keseimbangan sumber daya alam jika tidak dikelola dengan baik.
I.1. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
Penggunaan lahan (Land Use) adalah setiap bentuk campur tangan manusia terhadap sumber daya lahan, baik yang sifatnya menetap atau merupakan pergiliran yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhannya, baik kebendaan maupun spiritual atau keduanya (Vink, 1975 dalam Sitorus, 2011).
Perubahan penggunaan lahan banyak mempengaruhi keadaan sumber daya alam, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Namun banyak konsekuensi yang harus ditanggung oleh manusia itu sendiri atas perubahan penggunaan lahan. Idealnya, lahan harus digunakan sesuai dengan kemampuan lahan dan kesesuain lahan agar tidak terjadi kemerosotan kualitas lahan.
Lillesand dan Keifer (1993) menyatakan bahwa perubahan lahan terjadi karena manusia yang mengubah lahan pada waktu yang berbeda. Pola-pola perubahan lahan terjadi responnya terhadap pasar, tehnologi, pertumbuhan populasi, kebijakan pemerintah, degradasi lahan dan factor social ekonomi lainnya.
Lebih lanjut Wijaya (2004) menyatakan factor-faktor yang menyebabkan perubahan lahan diantaranya adalah pertumbuhan penduduk, mata pencaharian, aksesibility, dan fasilitas pendukung kehidupan serta kebijakan pemerintah. Dengan tidak berubahnya luas lahan namun semakin tinggi pertumbuhan penduduk, kebutuhan akan pangan dan sandang juga mengikuti pertumbuhan penduduk, sehingga manusia selalu mencari alternative lahan untuk pemukiman maupun produksi pangan. Mata pencaharian penduduk disuatu wilayah berakitan erat dengan perubahan penggunaan lahan diwilayah tersebut. Perubahan jenis pekerjaan penduduk yang menjadi petani memungkinkan terjadinya pula perubahan terhadap penggunaan lahan. Hal ini dapat mendorong penduduk untuk melakukan konversi lahan pada berbegai penutupan lahan.
Perubahan penggunaan lahan juga dapat memiliki dampak positif dan juga dampak negative. Dampak negative yang ditimbulkan tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan bencana bagi masyarakat didaerah sekitar. Diantara dampak negative yang berujung kepada bencana adalah tanah longsor.
I.2. BENCANA
Bencana menurut UU No. 24 tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh factor alam dan/atau factor non alam sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
Terdapat beberapa hal penting dari pengertian diatas yang harus diperhatikan yaitu rangkaian peristiwa, dimana rangkaian peristiwa disini merupakan suatu aktifitas yang dilakukan manusia atau alam termasuk didalamnya adalah penggunaan lahan karena penggunaan lahan ini berkaitan erat dengan upaya manusia. Berikutnya yang dapat mengancam kehidupan atau penghidupan masyarakat, penggunaan lahan yang dilakukan dengan sembarangan sehingga dapat mengancam kehidupan manusia biasanya dilakukan pada lahan-lahan yang memiliki factor pembatas secara fisik namun tidak dilakukan pengelolaan dengan baik dampaknya tidak langsung dirasakan oleh pengguna pada saat ini namun dapat dirasakan oleh masyarakat disekitarnya.
Dampak dari penggunaan lahan yang tidak dikelola dengan baik, sudah didefinisikan diatas. Sehingga jika terjadi suatu perubahan penggunaan lahan yang dapat berakibat menimbulkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis, itulah dapat dikatakan perubahan penggunaan lahan yang menjadi bencana.
Quareantelli (1998) dalam Smith (2001) memberikan pengertian bencana sebagai suatu kejadian actual, lebih dari suatu ancaman potensial atau dengan istilah sebagai realisasi dari bahaya. Bencana pada dasarnya merupakan fenomena yang terjadi pada suatu masa dimana suatu komunitas mengalami kerugian akibat bencana tersebut. Secara lebih rinci definisi bencana difokuskan pada ruang dan waktu ketika suatu komunitas menghadapi bahaya yang lebih besar dan hancurnya berbagai fasilitas, jatuhnya korban manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan sehingga berpengaruh pada kemampuan komunitas tersebut untuk mengatasinya.
Peristiwa bencana tidak mungkin dihindari, tetapi yang dapat kita dilakukan adalah memperkecil terjadinya korban jiwa, harta maupun lingkungan. Banyaknya korban jiwa maupun harta benda dalam peristiwa bencana yang selama ini terjadi, lebih sering disebabkan kurangnya kesadaran dan pemahaman pemerintah maupun masyarakat terhadap potensi kerentanan bencana serta upaya mitigasinya. Menurut PerMendagri No. 33 tahun 2006, upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak dari bencana baik bencana alam, bencana akibat ulah manusia maupun gabungan keduanya dalam suatu masyarakat disebut dengan mitigasi bencana.
Bencana (disaster) disebabkan oleh faktor alam dan/atau manusia yang dapat menimbulkan bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability) terhadap manusia dan lingkungan itu sendiri. Hazard dan kerentanan saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain (interdependensi). Bahaya adalah kemungkinan dari kejadian dalam jangka waktu tertentu pada suatu wilayah yang berpotensi terhadap rusaknya fenomena alam. Selanjutnya kerentanan diartikan sebagai tingkat kerusakan dari suatu unsure resiko dari suatu fenomena alam pada skala tertentu yaitu 0 (tidak ada kerusakan) sampai 1 (kerusakan total). (Kotter, 2004).
I.3. TANAH LONGSOR
Longsor (land slide) atau dengan kata lain gerakan massa tanah adalah suatu proses perpindahan tanah atau batuan dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari massa yang mantap karena pengaruh grafitasi dengan gerakan berbentuk rotasi dan translasi, selain dari itu longsor juga biasa diartikan sebagai suatu bentuk erosi yang pengangkutan dan pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat dalam volume yang besar. Longsor ini berbeda dari bentuk-bentuk erosi lainnya, pada longsor pengangkutan tanahnya terjadi sekaligus, (Hardiyatmo, 2006).
Terjadinya longsoran pada umumnya disebabkan oleh batuan hasil pelapukan yang terletak pada topografi yang mempunyai kemiringan terjal sampai sangat terjal dan berada di atas batuan yang bersifat kedap air (impermeable) sehingga berfungsi sebagai bidang luncur (Cruden, 1991).
Secara teoritis, tanah longsor terjadi disebabkan adanya gaya gravitasi yang bekerja pada suatu massa (tanah dan atau batuan). Dalam hal ini, besarnya pengaruh gaya gravitasi terhadap massa tersebut, ditentukan oleh besarnya sudut kemiringan lereng terhadap bidang horizontal (slope). Semakin besar slope, akan semakin besar kemungkinan terjadinya gerakan massa, begitu juga sebaliknya.
Karnawati (2004) menjelaskan bahwa terjadinya longsor karena adanya faktor-faktor pengontrol gerakan dan proses-proses pemicu gerakan.
Selanjutnya, tipe gerakan massa,menurut klasifikasi Varnes (1978) dalam Cooke dan Doornkamp (1990), secara rinci dijelaskan sebagai berikut :
a. Jatuhan (Falls)
Rock Falls adalah gerakan pecahan batuan dan jatuh bebas. Peristiwa ini sangat umum terjadi pada lereng yang sangat terjal, dimana material lepas tidak dapat tetap tinggal. Pecahan batuan ini dapat langsung jatuh atau membenturbentur dinding tebing sebelum sampai di bawah tebing. Peristiwa rock falls ini banyak terjadi pada batuan yang mengalami pelapukan fisik karena proses pemanasan dan pendinginan batuan atau oleh pertumbuhan akar tumbuhan. Contohnya, pada tebing di pinggir jalan yang baru dikupas, terutama yang batuannya masih segar atau agak lapuk dan banyak rekahan. Selain rock falls, dalam terminologi jatuhan juga dikenal istilah soil falls, yaitu gerakan yang terjadi akibat pemotongan pada massa tanah (soil) atau muka teras. Soil falls ini biasanya terjadi pada bagian yang tidak stabil. Prosesnya dimulai pada saat massa terpisah dari tebing terjal yang disebabkan retakan, sebelum lereng terjal tersebut runtuh.
b. Robohan (Topples)
Merupakan gerakan robohan ke arah depan. Topples dapat terjadi pada batuan maupun tanah, dan biasanya merupakan hasil dari retakan-retakan setelah terjadinya massa yang jatuh. Selanjutnya material robohan tersebut bergerak sebagai aliran (flow) atau sebagai longsoran (slide).
c. Longsoran (Slides)
Longsoran (slides) merupakan perpindahan masa batuan atau tanah melalui suatu permukaan bidang. Permukaan bidang tersebut dapat merupakan kekar, sesar, atau bidang perlapisan yang searah dengan kemiringan lereng.
d. Nendatan (Slump)
Nendatan (slump) merupakan perpindahan massa batuan atau material lepas dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah melalui suatu bidang luncur yang lengkung. Pada proses nendatan, material yang dipindahkan tidak terlalu besar kecepatannya dan tidak terlalu jauh. Proses ini merupakan sedimen kohesif yang tebal seperti lempung. Permukaan retakan blok slump dicirikan oleh bentuk seperti sendok dan cekung ke arah atas. Pada saat terjadi pergerakan, terbentuk tebing yang lengkung dan blok yang terletak dipermukaan akan berputar ke belakang. Umumnya slump terjadi karena kemiringan lereng terlalu terjal, dapat juga terjadi
karena beban pada kemiringan lereng terlalu besar, yang menyebabkan terjadinya internal stress pada meterial di bawahnya. Slump terjadi pada material yang lemah dan kaya akan lempung berada di bawah material yang lebih keras atau resisten seperti batu pasir. Air tanah yang meresap melalui batu pasir akan melemahkan le mpung yang berada di bawahnya.
e. Aliran (Flow)
Aliran pada tanah penting juga untuk diperhatikan, mengingat gerakan massa jenis ini sering menimbulkan malapetaka. Dalam hal gerakan massa jenis flow ini, dapat berupa debris flow (aliran bahan rombakan) dengan material berukuran butir kasar, sampai dengan mudflow (aliran lumpur), yakni aliran material dengan ukuran butir secara dominan adalah lempung. Aliran lumpur (mudflow) terjadi apabila material cairan kental bergerak menuruni lereng dengan cepat. Biasanya materialnya jenuh air dan utamanya partikel halus (debris). Tipe gerakan massa ini umum terjadi di daerah yang curah hujannya tinggi, seperti di Indonesia. Selanjutnya, kecepatan alirnya tidak hanya bergantung pada kecuraman lereng tetapi juga dipengaruhi oleh kandungan air. Aliran campuran lumpur, tanah, batuan, dan air ini mampu membawa atau mendorong bongkah yang besar, pohon-pohon atau bahkan bangunan besar seperti rumah. Di daerah gunung api aktif, terdapat aliran (flow) dari gerakan massa yang sangat khas, yakni lahar. Lahar merupakan aliran piroklastik, berukuran dari debu vulkanik sampai bongkah (bomb), yang jenuh air menuruni lereng. Komponen utama yang membedakan berbagai macam aliran tersebut, adalah dalam hal kandungan air dan dapat terlihat pada bentukan akhir lahan yang mengalami kerusakan akibat flow ini. Apabila bentukan akhir lahannya cenderung berlumpur, maka dapat disimpulkan bahwa tingginya kandungan air pada aliran tersebut, begitu juga sebaliknya. Aliran (flow) berdasarkan kandungan air dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mudflow dan earthflow. Karena dipengaruhi oleh kandungan air yang ada, mudflow lebih banyak terjadi di daerah semi arid. Sedangkan earthflow lebih sering terjadi di daerah bawah (humid) akibat hujan yang terus menerus. Selain sering terjadi pada lereng perbukitan, earthflow juga sering terjadi berasosiasi dengan slump. Selanjutnya, kecepatan earthflow sangat tergantung pada kemiringan lereng dan konsistensi dari materialnya. Berdasarkan kekentalannya, kecepatan earthflow dan mudflow jauh berbeda. Karena eartflow agak kental, maka alirannya tidak secepat mudflow.
f. Kompleks/Campuran (Complex)
Gerakan massa kompleks terjadi bilamana beberapa tipe gerakan terjadi dalam satu kejadian dan dalam waktu yang sama. Kombinasi yang khas terjadi adalah gerakan massa berupa rockfalls dengan debris avalanches serta rockfalls dengan rock flowsides, rotational slides, dan earthflow (atau pada umumnya mudflows).
g. Avalanches
Gerakan massa tipe avalanches ini biasa terjadi pada salju atau es. Lahan yang terbentuk mempunyai kategori yang berbeda dari tipe gerakan massa yang lain, karena dalam media yang ada ikut berperan.
h. Solifluction
Gerakan massa tipe ini te rmasuk lambat dan hanya terjadi pada elevasi tinggi dan dengan suhu dingin. Pada musim semi dan panas, hanya bagian atas es atau salju yang mencair, sedangkan tanah di bawahnya masih beku. Air dari pencairan es ini tidak mengalir dan membuat tanah menjadi jenuh. Kejenuhan tanah akan air membuatnya mudah bergerak, seperti halnya pada rayapan.
II. KEJADIAN TANAH LONGSOR DI INDONESIA
II.1. Kejadian Longsor
Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki potensi bencana alam yang tinggi. Jika dilihat secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang berada pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Australia, Benua Asia, Samudera Pasifik dan Lempeng Samudera Hindia. Selain itu di sebelah timur dan selatan Indonesia terdapat sabuk vulkanik yang memanjang dari Pulau Sumatera kemudian Pulau Jawa, Nusa Tenggara dan berakhir di Sulawesi, dimana sisi dari pegunungan ini merupakan pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian besar didominasi oleh rawa-rawa. Dengan karakteristik seperti ini, Indonesia memiliki potensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gempa bumi, tsunami, gunung berapi, banjir dan tanah longsor. Data menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai tingkat kegempaan yang tinggi di dunia dimana lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan yang terjadi di Amerika Serikat (RAN PB, 2006).
Hal tersebut dipertegas dengan Undang-undang no 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana bahwa wilayah Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh factor alam, factor non alam maupun manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional.
Berdasarkan data bencana dari BAKORNAS PB diketahui antara tahun 2003 – 2005 telah terjadi 1.429 kejadian bencana. Dari data tersebut, bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang paling sering terjadi, dengan jumlah sebanyak 53,3 % dari total kejadian bencana di Indonesia. Bencana hidrometeorologi yang paling sering terjadi adalah banjir (34,1 %) diikuti bencana tanah longsor (16 %) dan bencana geologi (gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi) hanya 6,4% .
Data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologis menyebutkan setidaknya terdapat 918 lokasi rawan tanah longsor tersebar di berbagai daerah antara lain, Jawa Tengah 327 lokasi, Jawa Barat 276 lokasi, Sumatera Barat 100 lokasi, Sumatera Utara 53 lokasi, Yogyakarta 30 lokasi, Kalimantan Barat 23 lokasi, dan sisanya tersebar di NTT, Riau, Kalimantan Timur, Bali, dan Jawa Timur. Setiap tahunnya kerugian yang ditanggung akibat bencana tanah longsor sekitar Rp 800 miliar, sedangkan jiwa yang terancam sekitar 1 juta. Berdasarkan data tersebut sebagian besar lokasi longsor berada di Pulau Jawa. Prakiraan daerah rawan longsor di Pulau Jawa sebagaimana yang dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologis diuraikan dalam Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Prakiraan tingkat potensi longsor di Pulau Jawa
No | Provinsi | Kabupaten/Kota | Tingkat Potensi Longsor |
1. | Jawa Tengah | Banyumas, Batang, Kendal, Purwodadi, Tegal, Boyolali, Karanganyar, Magelang, Pati, Pekalongan, Semarang, Purworejo, Wonosobo, Banjarnegara, Cilacap, Purbalingga, Pemalang, Brebes, Kebumen, Jepara, Kudus, Wonogiri | Menengah – Tinggi |
2. | Banten | Padeglang dan Lebak | Menengah - Tinggi |
3. | Jawa Barat | Bogor, sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Purwakarta, Subang, Sumedang, Tasikmalaya, ciamis, Majalengka, Kuningan, Cirebon | Menengah – Tinggi |
4. | DIY | Yogyakarta, Kulonprogo dan Gunung Kidul | Menengah – Tinggi |
5. | Jawa Timur | Ngawi, Tuban, Magelang, MAdiun, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Kediri, Tulungagung, Madang, Lumajang, Probolinggo, Jember, Situbondo, Bondowoso, Banywangi | Menengah Tinggi |
Sumber : Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologis, 2006
II.2. Dampak Tanah Longsor
Dampak yang ditimbulkan tanah longsor, sangat singnifikan terhadap perubahan lahan, selain itu juga dapat menimbulkan korban jiwa. Banyak area yang dengan topografi berbukit menjadi potensi terjadi tanah longsor ketika dipotong (Cutting Hill) tanpa memperhitungkan kemiringan lereng yang dimanfaatkan untuk penggunaan jalan. Sehingga pada saat terjadi longsor fasilitas umum ini akan tertutup longsoran dan dapat menutup akses jalan.
Selain itu, area pemukiman pada kemiringan curam juga sering dijumpai. Hal ini mungkin disebabkan oleh berkurangnya lahan datar untuk areal pemukiman sehingga banyak penduduk yang membuka lahan pemukiman baru pada areal berbukit tanpa memperhitungkan kemiringan lereng. Ini sangat berpotensi untuk terjadi bencana longsor dengan resiko korban jiwa dan harta benda.
Penggunaan lahan holtikultura pada wilayah berlereng juga sangat berpotensi terjadi longsor karena jika terjadi hujan pada ambang tertentu tanaman, dan terbentuk bidang luncur maka perakaran tanaman holtikultura tidak dapat menahan gerakan tanah. Jika hal ini terjadi maka akan mengakibatkan kerugian material dengan hancurnya tanaman tersebut juga lapisan solum akan tertutup oleh longsoran sehingga diperlukan pengelolaan yang lebih untuk mengembalikan tingkat kesuburannya. Sehingga penggunaan lahan pertanian pada lahan berlereng perlu diusahakan untuk tanaman yang tahan terhadap gerakan tanah, memiliki daya cengram akar yang kuat terhadap tanah dan perakaran yang dalam.
Berikut contoh kecil dampak dari kejadian longsor di beberapa daerah. Pada tanggal 3 November 2003, bencana tanah longsor di Bahorok (Sumatera Utara), menyebabkan ratusan kepala keluarga kehilangan tempat tingga dan tempat usahanya dimana jumlah korban meninggal dan luka-luka mencapai ratusan jiwa. Pada awal tahun 2006, kejadian tanah longsor di Indonesia sangat parah terjadi di Banjarnegara yang mengakibatkan ratusan orang tewas tertimbun tanah dan Jember yang menyebabkan sebanyak 62 orang tewas, puluhan orang hilang dan ribuan lainnya harus mengungsi (Alhasanah, 2001).
Di Seluruh Indoensia, selain kerugian jiwa dan harta benda, bencana yang ada juga telah mengakibatkan rusaknya sarana dan prasarana umum yang ada, seperti yang terjadi pada 89 unit tempat ibadah, 48 jembatan, 23 bendungan, 11 ribu meter saluran irigasi, 10 ribu meter tangggul dan 716 kilometer jaringan jalan yang ada. Propinsi Jawa Barat merupakan daerah dengan kejadian longsor terburuk di tanah air, yang banyak menelan korban seperti kejadian longsor di sekitar Lembang maupun di Kabupaten Majalengka.
Sehingga dapat dikatakan bahwa dampak bencana longsor yaitu Kerusakan fisik Apapun yang berada di puncak atau jalur longsoran akan mengakibatkan kerusakan parah atau bahkan hancur total. Timbunan bebatuan mungkin akan merusak jalur komunikasi dan menutup jalan raya. Saluran air juga bisa tersumbat sehingga ada risiko air meluap dan banjir. Barangkali kerusakan hanya di sekitar terjadinya bencana lain seperti gempa bumi dan letusan gunungapi. Selain itu banyak dampak merugikan yang bersifat tak langsung : (1) Bila longsor mengubur daerah pertanian atau hutan, produktifitas pertanian / kehutanan lenyap atau terganggu. (2) Nilai jasa lahan setempat anjlok dan penerimaan pajak negara akan berkurang akibat kemerosotan itu. (3) Dampak-dampak parah terhadap mutu air di sumber yang mengalir serta prasarana pengairan. (4) Dampak-dampak fisik sekunder misalnya banjir.
Korban manusia Dalam bencana tanah longsor, korban tewas biasanya berasal dari pemukiman penduduk yang terletak di daerah rawan. Mereka meninggal akibat runtuhnya bangunan dan terkubur bahan-bahan yang dibawa tanah longsor itu. Apapun yang terletak di atas atau di jalur longsor akan mengalami kerusakan parah, bahkan kehancuran menyeluruh akibat bencana ini.
III. PENGARUH PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP LONGSOR
Menurut Alhasanah (2006), penyebab utama pemicu terjadinya tanah longsor di Sumedang Jawa Barat terdiri atas tiga factor yaitu kelerengan, jenis tanah dan penggunaan lahan. Tipe penggunaan lahan yang menentukan tingkat potensi bahaya longsor (Rawan hingga sangat rawan) yaitu semak belukar, tegalan, pemukiman, sawah dan ladang. Dilihat dari resiko yang ditimbulkan tanah longsor terhadap penggunaan lahan adalah pemukiman, gedung dan sawah irigasi. Ini disebabkan penggunaan lahan ini memiliki resiko kerugian materiil dan non materiil yang paling tinggi.
Wahyunto, dkk (2009) di DAS Citarum, penggunaan lahan sawah lebih rentan dibadingkan penggunaan lahan non sawah (tegakan, semak belukar, pemukiman dan hutan). Hal ini disebabkan karena kondisi lahan sawah yang sering atau selalu jenuh air dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga menciptakan bidang luncur terutama pada lereng >3%.
Hasil penelitian Subhan (2006) bahwa di Garut, Pola penggunaan lahan (landuse) untuk persawahan, terutama pada daerah-daerah yang mempunyai kemiringan lereng terjal dapat menyebabkan meningkatnya potensi longsor. Di Garut terlihat bahwa persawahan intensif memberikan kontribusi besar terhadap kejadian longsor, terutama dengan bertambahnya volume air yang ditampung pada lahan persawahan menyebabkan meningkatnya beban lereng. Lahan persawahan dibuat dengan melakukan modifikasi dan memotong lereng. Aktivitas ini menyebabkan sudut lereng semakin tinggi sehingga memperbesar potensi terjadinya tanah longsor. Selain itu, tanah yang kehilangan vegetasi penutup akan menjadi retak-retak pada musim kemarau dan pada musim penghujan air akan mudah meresap kedalam lapisan tanah melalui retakan tersebut dan dapat menyebabkan lapisan tanah jenuh air sehingga dapat meningkatkan resiko terjadinya tanah longsor. Disamping itu, karakteristik hujan di lokasi penelitian yang tergolong tinggi menyebabkan pada musim hujan persawahan menjadi tempat penampungan air yang apabila terus berlanjut, sangat potensial menjadi tanah longsor.
IV. UPAYA PENGENDALIAN TANAH LONGSOR
Upaya pendendalian tanah longsor saat ini dikelompokan dala 2 bentuk yaitu metoda tehnik sipil dan metoda vegetative. Metoda vegetative dilakukan dengan pemanfaatan berbagai jenis tanaman mulai dari rumput, semak hingga tanaman keras yang memiliki fungsi menguatkan agregat tanah sehingga tidak mudah tererosi dan longsor. Vegetasi dengan penyebarannya yang luas dengan struktur dan komposisinya yang beragam diharapkan mampu menyediakan manfaat yang besar sebagai pengendali longsor, peran tersebut antara lain intersepsi, evapotranspirasi, infiltrasi, lengas tanah, air bawah dan di atas permukaan dari biomass bawah hutan (Suryatmo, 2009).
Lebih lanjut Suryatmo (2009) menyatakan bahwa berdasarkan peran vegetasi terhadap pengendali longsor, maka dapat dilakukan usaha pencegahan atau mengurangi longsor dengan usaha antara lain:
1. Menghindari atau mengurangi penebangan pohon yang tidak terkendali
2. Penanaman vegetasi keras dengan perakaran intensif pada kawasan lereng curam dna menumpang pada lapisan impermeable.
3. Mengembangkan usaha tani ramah longsor
4. Mengurangi beban mekanik pohon-pohon besar yang berakar dangkal
5. Mengurangi atau menghindari pembangunan teras bangku di kawasan rawan longsor
6. Mengurangi intensifikasi pengolahan tanah pada daerah rawan longsor
7. Membuat saluran drainase di bawah permukaan
Selain itu, pengetahuan mengenai jenis tanaman pada lokasi rawan longsor sangat penting, karena ini menjadi kunci penting dalam upaya pengendalian longsor. Suryatmo (2009) menyatakan longsor lahan yang disebabkan oleh labilnya lapisan tanah harus dapat diantisipasi dengan pemilihan jenis tanaman yang memiliki perakaran yang mampu menahan kestabilan lapisan tanah yaitu jenis yang memiliki perakaran dalam dan akar serabut yang banyak. Komponen lain yaitu kerapatan tajuk pohon, semakin tinggi kerapatan tajuk, semakin tinggi kemampuan tajuk untuk menangkap air hujan sehingga mengurai energy kinetic air sampai ke tanah.
Upaya dalam pengaturan penggunaan lahan juga sangat penting. Menurut Paripurno (2006) Cara paling efektif untuk meminimalkan dampak tanah longsor adalah dengan mengatur lokasi pembangunan di tanah yang stabil dan memanfaatkan daerah-daerah rawan longsor sebagai lahan-lahan kosong terbuka, atau sebagai tempat kegiatan dengan intensitas rendah (taman, padang penggembalaan,dsb). Kendali penggunaan tanah hendaknya dilakukan untuk mencegah pemakaian daerah-daerah rawan sebagai lokasi pemukiman ataupun tempat prasarana penting. Kontrol agraria inipun dapat melibatkan upaya pemindahan penduduk yang terlanjur menempati wilayah-wilayah rawan khususnyajika ada lokasi lain yang lebih aman. Kalaupun dikeluarkan izin pemakaian hak guna tanah atau pendirian bangunan di sana harus ada pembatasan tentang jenis dan jumlah bangunan yang boleh didirikan. Kegiatan-kegiatan yang bisa memicu kelongsoran harus dilarang. Jika kebutuhan akan tanah atau lahan sangat mendesak barangkali bisa dibenarkan dilakukannya usaha rekayasa penstabilan tanah meski biayanya sangat besar. Cara paling efektif untuk meminimalkan resiko terkena dampak tanah longsor adalah membangun di tanah yang stabil dan memanfaatkan tanah di daerah-daerah rawan sebagai taman,lapangan terbuka, atau padang penggembalaan yang berarti kegiatan-kegiatan berintensitas rendah, jangan dipakai lokasi pemukiman atau pembangunan prasaranaprasarana vital.
V. KESIMPULAN
1. Penggunaan lahan sangat berpengaruh pada peristiwa tanah longsor terutama pada wilayah yang berlereng terjal.
2. Tipe penggunaan lahan yang paling berpengaruh terhadap resiko tanah longsor yaitu sawah dan pemukiman
3. Upaya penanggulangan tanah longsor salah satunya dengan metoda vegetative dengan menanam jenis tanaman dengan perakaran yang mampu menahan kestabilan tanah dan kerapatan tajuk tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Alhasanah, Fauziah. 2006. Pemetaan dan Analisa daerah rawan tanah longsor serta upaya mitigasinya menggunakan SIG. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Cooke and Doornkamp. 1990. Geomorphology in Environmental Management: A New Introduction. Clarendon Press. United Kingdom.
Hardiyatmo, H.C., 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Kotter, T. 2004. Disaster management and e-land management. GIM Int. 18:12 - 15.
Karnawati, D. 2004. Bencana Gerakan Massa Tanah/ Batuan di Indonesia; Evaluasi dan Rekomendasi, Dalam Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Indonesia. P3 -TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta.
Lillesand TM, Kiefer FW. 1993. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Alih bahasa. R. Dubahri. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Peraturan Mendagri. 2006. Pedoman Mitigasi Bencana. Jakarta.
Paripurno, Eko Teguh. 2006. Modul Manajemen Bencana: Pengenalan Longsor Untuk Penanggunglangan Bencana. BNPB. Jakarta.
Sutikno. 1997. Penanggulangan Tanah Longsor. Bahan Penyuluhan Bencana Alam Gerakan Tanah. Jakarta.
Smith, K. 2001.Environmental Hazard: Assesing Risk And Reducing Disaster. Raoletge. London
Suryatmo Hatma. 2009. Strategi pemilihan vegetasi untuk pencegahan bahaya longsor lahan. Jakarta.
. Undang-undang RI. No.24 tahun 2007. Penanggulangan Bencana. Jakarta
Wijaya CI. 2004. Analisis Perubahan Penutupan Lahan Kabupaten Cianjur Jawa Barat Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar